Habib Ali Al-Jufri berkisah tentang: Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAW (Bagian 2): Terhubung tak Berujung

Ketika para penghuni rumah itu menyaksikan kepergian Rasulullah SAW, yaitu setelah ruh beliau meninggalkan jasad beliau, tangis pun meledak menyelubungi seisi rumah.

habib ali aljufri“Wahai Nabi Allah….! Wahai Rasul­ullah…! Wahai kekasih Allah….!”
Saat kesedihan menyelubungi rumah itu, seketika, suasana penuh haru me­nyemburat di wajah para sahabat yang ada di dalam masjid.
Tak lama kemudian, berita wafatnya Rasulullah pun kemudian menyebar begitu cepat ke segenap penjuru kota Madinah.
Musibah Terberat
Kembali lagi sejenak pada apa yang dialami Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW pada detik-detik yang sangat bersejarah itu. Saat itu, ia tengah duduk di sisi tubuh mulia Rasulullah SAW.
Ketika ia melihat guncangan ruh be­liau, ia melihat Sayyidatuna Aisyah RA me­nangis. Maka kemudian ia mengang­kat tubuh Rasulullah SAW dan meletak­kannya di kamar beliau.
Setelah meletakkan tubuh nan suci itu, di saat ruh Rasulullah SAW hampir ter­lepas dari jasadnya, Sayyidina Ali pun terjatuh dan kemudian tak kuasa untuk berdiri.
Maka kemudian, tatkala suara tangis­an memenuhi ruangan rumah itu, terde­ngarlah suara yang tidak terlihat siapa yang mengatakannya. Mereka mende­ngar suara yang mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Ahlal Bait, a’zhamallahu ajrakum. Ishbiru wahtasibu mushibatakum. Fa inna Rasulallah fara­thukum fil jannah.” – Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Wahai penghuni rumah, semoga Allah membesarkan ganjaran pahala kalian. Bersabarlah dan bermuhasabah­lah dengan musibah yang kalian alami ini. Maka sesungguhnya Rasulullah men­dahuluimu sekalian di surga.”
Ketika suara itu terdengar, mereka pun terdiam dan menjadi tenang. Setelah suara itu berhenti, mereka pun menangis lagi.
Demi Allah, Dzat Yang Disembah, ka­lian tidak pernah diberi musibah seperti mu­sibah yang mereka rasakan. Tiada satu rumah pun yang pernah merasakan ke­hilangan seperti yang mereka rasakan.
Kabar itu tersiar cepat di kota Madi­nah. Para sahabat merasa kebingungan. Ketika dikatakan kepada mereka “Wahai para sahabat, tidakkah kalian tahu, Ra­sulullah SAW adalah manusia, dan se­ba­gai manusia beliau pun pasti menga­lami kematian?”, mereka mengatakan, “Ya, tapi kehidupan beliau kekal dalam diri kami dan telah menjadi cambuk dah­syat pada jiwa kami.”
Hati para sahabat terus bergetar.
Kala itu, Sayyidina Umar bin Khath­thab menghunuskan pedangnya sambil mengibas-ngibaskannya di jalan. Karena rasa sedih yang begitu mendalam, ia ber­teriak, “Sekelompok dari golongan muna­fik berkata bahwa Rasulullah telah mati. Rasulullah SAW tidak wafat. Akan tetapi be­liau menjumpai Tuhannya sebagai­mana perginya Musa AS. Dan beliau kem­bali kepada kita. Siapa yang me­nga­ta­kan Rasulullah telah mati akan ku­tebas dengan pedangku ini.”
Setelah sampai kabar kepada Abdul­lah bin Zaid RA, ia menangis, kemudian menengadahkan tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ambillah penglihatanku ini, se­hingga aku tak dapat melihat seorang pun lagi selepas kepergian Rasulullah SAW.”
Maka, ia pun kehilangan penglihatan pada saat itu juga.
Sahabat yang lain, ketika mendengar berita tentang Abdullah bin Zaid RA, ber­teriak, “Ya Allah, ambillah ruhku, dan tiada lagi kehidupan setelah wafatnya Rasul­ullah SAW.”
Tiba-tiba ia terjatuh. Allah mengambil nyawanya seketika itu juga.
Sementara itu, Sayyidina Utsman RA membisu. Ia tidak dapat berkata apa-apa.
Hidup dan Mati dalam Kebaikan
Ketika pikiran mereka terganggu, me­reka kebingungan, maka telah sampai be­rita kepada Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq RA, dan ia pun berada dalam ke­adaan yang menyedihkan itu. Dari arah rumahnya, ia menuju ke Masjid Nabawi dan memasukinya.
Ia mendapati Sayyidina Umar dan para sahabat yang lain tengah dalam ke­bingungan.
Kemudian ia melintasi masjid itu dan sampai di rumah Rasulullah. Ia meminta izin dari penghuni rumah untuk dapat ma­suk ke rumah dan ia diizinkan untuk masuk.
Periwayat kisah ini mengatakan, Sayyi­dina Abubakar RA masuk dalam keadaan dadanya berdebaran dan tam­pak ia penuh keluh kesah, seakan-akan nyawanya pun akan dicabut pada saat itu.
Ia menangis. Kemudian terdengar dari­nya suara bagaikan bergolaknya air yang tengah mendidih. Ia memalingkan wajahnya, sementara air matanya terus bercucuran.
Saat itu, jasad mulia Rasulullah SAW diselimuti kain. Lalu ia membuka kain se­limut yang menutupi jasad mulia Rasul­ullah SAW, demi menatap wajah paling mulia itu.
Ia memandang wajah Rasulullah SAW dan mendekatkan wajahnya. Di­kecupnya kening dan pipi Rasulullah SAW. Lalu, sambil menangis ia menga­takan, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulianya kehidupan dan wafatmu. Allah SWT tidak akan menimpakan dua kali wafat untukmu. Jikalau tangisan itu bermanfaat bagimu, niscaya kami akan biarkan air mata ini terus berlinang. Tetapi, tiada tempat mengadu selain kepada Allah SWT.
Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kita akan kembali.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan se­lain Allah dan aku bersaksi bahwa eng­kau, ya Muhammad, adalah utusan Allah.
(Aku bersaksi bahwa) engkau telah menunaikan risalah dan menyampaikan amanah. Dan engkau meninggalkan kami di atas jalan yang bersih.”
Sayyidina Abubakar tenggelam da­lam kesedihan. Napasnya pun terse­ngal-sengal. Ia pandangi kembali wajah Ra­sulullah SAW seraya berkata, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muham­mad.”
Wahai para sahabat yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah SAW. (Dan untukmu Sayyidina Abubakar) wa­hai sahabat Rasulullah ketika di Gua Tsur. Jadi, engkau memahami bahwa perpindahan Rasulullah SAW itu adalah suatu kehidupan baru bagi Rasulullah SAW. Sehingga, kalian mengatakan, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”
Makna “Siapa Menyembah Muhammad…” 
Sayyidina Abubakar mengusap air mata dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya.
Lalu ia kembali menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW.
Ia pun kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk menenangkan mereka.
Pada saat ia menangis dan mengata­kan kepada Rasulullah SAW bahwa beliau hidup dan wafat dalam kebaikan, saat itu para wanita seisi rumah itu pun menangis.
Abubakar RA kemudian keluar dan ia melihat kembali betapa seisi masjid berada dalam kepiluan.
Kemudian ia menaiki mimbar keka­sihnya, tuannya, dan pemimpinnya, Ra­sulullah SAW. Langkah kakinya telah mem­bawanya ke mimbar itu.
Maka, setelah memuji Allah SWT, bershalawat atas Nabi, ia pun mengutip firman Allah SWT, “Setiap jiwa akan men­dapatkan kematian.” Ia juga membaca­kan ayat, “Dan tidaklah Muhammad itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para rasul sebelumnya.” Dan ayat, “Se­sungguhnya engkau mati dan mereka juga mati.”
Ia berkata lagi, “Siapa yang menyem­bah Muhammad, Muhammad telah wa­fat. Siapa yang menyembah Allah, Allah itu hidup dan tidak mati.”
Kalimat ini mengandung pemahaman yang dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman mereka yang jahil pada saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat” sebagai putus­nya hubungan dengan Nabi SAW.
Demi Allah, Tuhan Yang Disembah, makna kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan dirinya dengan kehidupan Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW telah berakhir. Rasul­ullah SAW telah wafat. Namun siapa yang menjadikan hubungannya dengan Rasul­ullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah itu Mahahidup dan tidak mati.
Jadi, dengan pengertian bahwa hu­bungan kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan pernah berakhir. Karena, hu­bungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat dengan hubungan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang hidup dan tidak per­nah mati.
Kemudian Sayyidina Abubakar ber­paling kepada Sayyidina Umar, meng­hiburnya dari kebimbangan yang ia rasa­kan.
Aroma Kesturi
427908_10151074043899195_428868733_nDi rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali pun telah bangun setelah terjatuh lan­taran kesedihan. Ia bersama Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW. Kemudian, turut pula bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah dan Fadhl.
Dibantu oleh mereka, Sayyidina Ali KW memandikan jasad mulia Rasul­ullah SAW dengan pakaian yang masih beliau kenakan tanpa membuka aurat beliau sedikit pun.
Sayyidina Ali KW mengatakan, “Kami memandikan beliau dan beliau masih mengenakan pakaiannya.
Saat kami hendak memiringkan be­liau ke kanan, beliau menghadap ke ka­nan dengan sendirinya. Ketika kami hen­dak memiringkan beliau ke kiri, beliau menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami tidak mendapati seorang pun yang membantu kami untuk memandikan be­liau, kecuali jasad beliau sendiri yang ber­ubah kedudukannya.”
Katanya lagi, “Ketika kami meman­di­kan beliau, angin yang sejuk dan nyaman bertiupan ke arah kami seakan-akan kami merasakan para malaikat masuk dan bersama dengan kami pada saat itu, ikut memandikan jasad mulia Rasulullah SAW.
Tidaklah ada air yang jatuh dari jasad mulia Baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi dari aroma kesturi.
Kemudian, kami kafankan jasad be­liau.”
Salah Satu Taman Surga
Di tempat lain, para sahabat saling bertanya, “Di manakah akan kita makam­kan jasad Rasulullah SAW?”
Sebagian dari mereka ada yang me­ngatakan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Baqi’. Imam Muslim da­lam kitab Ash-Shahih-nya menyatakan, se­bagian sahabat mengatakan agar be­liau dimakamkan di sisi mimbarnya, yaitu di dalam masjidnya, Masjid Nabawi.
Hal ini menjelaskan bahwa, ketika Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud mereka, laknat tersebut bukanlah karena sujud di suatu masjid yang ada kubur di dalamnya. Se­bab, bila cara pandang seperti itu benar, niscaya para sahabatlah yang terlebih dahulu memahami akan hal tersebut, se­bagai buah dari kehidupan mereka ber­sama Rasulullah SAW.
Sampai kemudian Sayyidina Abu­bakar RA mengatakan kepada para sahabat yang lainnya, “Sesungguhnya para nabi dikuburkan di tempat mereka mengembuskan napasnya yang terakhir, sebagaimana yang aku dengar dari sabda Rasulullah SAW.”
Maka digalilah lubang di dalam kamar Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyemayamkan jasad suci beliau.
Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam lubang kubur Rasulullah SAW, yang, demi Allah, tak lain merupakan sa­lah satu taman dari taman-taman surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pem­bantu Rasulullah SAW yang bernama Syaqran.
Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas, tempat yang pernah diduduki Ra­sulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya.
Aku melihat ke atas tempat duduk Ra­sulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata, ‘Ya Rasulullah, tiada satu pun yang boleh duduk di atas tempat du­duk ini selepasmu, wahai Rasulullah!’.”
Sayyidina Ali pun memakamkan Ra­sulullah SAW dalam kubur beliau, ber­sama para sahabat yang terlibat saat pemakaman itu.
Sang Putri Menyusul
Ketika mereka telah bubar usai pe­makaman, datanglah Sayyidatina Fathi­mah Az-Zahra. Dialah yang tidak ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah kepergian Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Ra­sulullah SAW ini.
Dalam keadaan menangis, Sayyi­datina Fathimah melihat Anas bin Malik RA, pembantu ayahandanya, yang besar di bawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat didikan Rasulullah SAW, di rumah beliau itu. Kemu­dian ia berkata ke­pada Anas, “Ya Anas, engkau sanggup me­letak­kan tanah di atas tubuh Ra­sul­ullah?”
Anas pun menangis, sambil mengata­kan, “Celakalah kami, cela­kalah kami, celakalah kami, wahai Fathimah. Sesung­guhnya kami tidak menyadari dengan apa yang kami lakukan. Kalaulah kami telah men­dengar terlebih dulu apa yang eng­kau katakan sekarang ini, niscaya kami tidak akan sanggup menge­bumikannya.”
Sayyidatina Fathimah pun berlalu, seakan ia tak mengenali siapa pun yang ada di situ. Hatinya amat sedih karena musibah yang sedang menimpanya.
Ia kemudian berdiri di sisi kubur ayah­andanya dan mengambil segumpal ta­nah, lalu menciumnya.
Dalam tangisannya, ia berkata,
“Apa yang dapat dirasakan si pen­cium tanah kubur Nabi Muhammad ini… tidak dapat dirasakan pada selainnya sepanjang masa.
Aku ditimpa musibah dengan musi­bah yang jika musibah selainnya menim­paku setiap hari pun niscaya tidak mengapa.”
Tidak sampai lima bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah pun wafat.
Fathimah adalah seorang yang di­gelari Ummu Abiha, Ibu dari Ayahnya (Karena sejak meninggalnya Sayyidatina Khadijah, istri Rasulullah SAW, Sayyi­datina Fathimah-lah yang banyak meng­urus keseharian hidup Rasulullah SAW).
“Wahai Rasulullah…”
Sekarang, bagaimanakah keadaan kalian semua, wahai para sahabat, se­lepas wafatnya Rasulullah SAW? Adakah kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan Rasulullah SAW?
Demi Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar meleset.
Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid kedua pada kitab Memohon Pertolongan, sebagaimana juga ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzai­mah dengan sanad yang shahih,  Bilal ibn Harits Al-Muzuni, salah seorang sa­habat Nabi, datang berziarah ke makam Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik te­ngah melanda, yaitu pada masa peme­rintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun ber­diri di sisi makam mulia Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….”
Perhatikanlah baik-baik, sahabat Nabi ini mengatakan “Ya Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara lang­sung, atau sebagai orang kedua).
“Ya Rasulullah. Banyak yang telah binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk umatmu.”
Karena mereka memahami bahwa Ra­sulullah SAW hidup di dalam kubur­nya. Beliau mendengar shalawat yang di­ucapkan atas beliau, dan beliau menja­wab salam yang diucapkan kepada be­liau. Beliaulah yang telah bersabda, “Se­sungguhnya para nabi itu hidup dalam kubur mereka.”
Sumber: Majalah alKisah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialah seorang hambah,namun teramat mulia